Negri Pelangi


Pelangi dengan sekelumit senyum ini terbentuk oleh sinar matahari yang menembus jutaan kristal es kecil
Cerpen Deni Oktora
Malam semakin larut. Langit diluar kian berkabung. Aku termangu menatap jendela kamar kecilku, Menanti seseorang yang sangat kucintai untuk segera pulang. Rinai air hujan perlahan jatuh titik demi titik membasahi kaca jendela. Suara tempias air yang mengenai kaca jendela terdengar bagai sebuah simfoni yang lembut bagiku—suaranya bertalu-talu. Aku dapat mendengar peri hujan berbisik memanggil pelan namaku, mengajakku untuk segera keluar untuk menari bersamanya. Berdansa bersamanya. Merinai lagu cinta berdua bersamanya. Bercinta bersamanya. Hanya aku dan peri hujanku di negeri nan jauh di atas—Negeri pelangi.

Aku mendengar pintu kamarku berderit—dibuka oleh orang yang sudah lama kutunggu sedari tadi. Mamaku, ia terlihat begitu lelah sehabis pulang kerja dari kantor, namun kecantikannya masih tetap berpendar dengan hangat di wajahnya. Aku mengagumi kecantikan Mamaku, matanya yang indah, bibir tipis mungilnya, kaki jenjangnya, dan—hal yang amat ku kagumi dari dirinya—tentu rambut hitam legam yang kerap menari-nari bila ia sedang berjalan.
“Halo Nila anak mama sayang.” sapanya seraya memelukku dengan erat.
“Gimana, kamu sudah makan?”
“Sudah ma, tadi Nenek yang memberiku makan”
“Gimana sayang masakan Nenek, enak gak?”
“Enak ma, walau..emmm... masih lebih enak buatan Mama sih..” tukasku
Mama membalas dengan senyuman dan memberikan kecupan mungil di keningku.
“Mama mandi dulu ya sayang, nanti mama bacain cerita sebelum kamu tidur. mau Mama bacain cerita yang mana?”
“Negeri Pelangi!!” jawabku dengan semangat sembari menunjuk buku yang terbaring di meja dengan kondisi masih tersegel dengan rapi.
“Oh, buku yang hari sabtu lalu mama beli untukmu ya? Hemmm... mama lupa membacakannya untukmu ya ternyata.” Gumam mama seraya mengambil dan mengamati buku tersebut dengan membolak-balik cover depan dan belakangnya.
“Iya, mama sih pulangnya malem terus, jadi kelupaan deh sama buku negeri pelanginya.” keluhku
“Ya sudah, Mama mandi dulu ya. Mmmmuaachhh...” Mama mencium pipiku yang merona merah.
Aku melihatnya menanggalkan pakaian satu persatu sebelum masuk ke kamar mandi. Mamaku, seperti yang kukatakan tadi, betapa cantiknya ia. Aku selalu hanyut terpesona dengan kecantikannya. Kata Nenek, aku mewarisi kecantikan mata dan bibir Mamaku. Aku sangat gembira ketika Nenek mengatakan hal itu. Aku selalu membayangkan bagaimana bila kelak aku sudah tumbuh dewasa nanti. Memiliki mata indah seperti Mama, memiliki senyum dari bibir tipis yang memesona seperti mama, memiliki rambut hitam legam yang kerap menari-nari bagai balerina seperti milik mama. Diriku juga tidak sabar untuk segera memiliki payudara yang ranum, tidak sabar untuk segera memiliki pinggul yang ramping, tidak sabar untuk segera memoleskan lipstik pada kedua garis bibir indahku. Tahukah kamu kalau dulu aku kerap berlama-lama berdiri di depan cermin—yang berada di kamar Mama—mengenakan lipstiknya, mengenakan gaunnya, memakai sepatu high-heels kepunyaannya? Aku sering memastikan apakah sudah terlihat cantik seperti Mama atau belum. kadang aku terkikik bila mengingatnya kembali karena bagaimanapun juga saat itu usiaku baru saja menginjak 7 tahun.
Usai mandi dan berpakaian, Mama dengan cekatan mengambil buku cerita Negeri Pelangi. ia mulai membuka halaman demi halaman, menceritakan bagaimana konon cerita ini sudah santer terdengar dan telah menjadi buah bibir dari kalangan masyarakat semenjak ribuan tahun lalu.
Konon bila hujan tiba, masyarakat di perdesaan banshee selalu menyambutnya dengan penuh suka cita. Para petani memberi sambutan peri hujan dengan menari-nari di areal pematangan sawah. Bersuka-ria kalau tahun ini sawah mereka akan terhindar dari musim kemarau yang selalu menyebabkan gagal panen karena kering-kerontang, Para ibu-ibu petani memberi sambutan dengan menyanyikan lagu-lagu kebahagian untuk diperdengarkan oleh para peri hujan, dan para pria jejaka diliputi rasa bahagia bercampur was-was untuk menanti siapa kali ini yang akan terpilih oleh peri hujan untuk ikut menuju negeri pelangi dan dijadikan mempelai pria.
“Terus apakah ada pria yang terpilih oleh peri hujan pada akhirnya?” tanyaku dengan penasaran.
“Tentu ada Nila sayang, Konon setiap tahun akan ada satu pria jejaka yang terpilih dibawa ke negeri pelangi untuk dijadikan mempelai pria.” Jawab Mama dengan menyunggingkan senyum kecil.
“Terus apa yang dilakukan pria itu bila sudah berada di negeri pelangi?”
“Pria itu akan dinikahkan oleh salah satu peri hujan yang tentunya sangat cantik. mereka akan menjadi sepasang suami-istri di negeri pelangi hingga selama-lamanya.”
“Selama-lamanya, sampai mereka menjadi tua terus mati ya ma?” tanyaku penasaran.
“Tidak Nila sayang, di negeri pelangi kita tidak akan menjadi tua lalu kemudian meninggal seperti kebanyakan orang pada umumnya, malah kita akan hidup muda sampai selama-lamanya. “
“wah enaknya.....” tukasku dengan senyum yang mengembang “Terus seperti apakah rupa dari peri hujan itu ma?” tanyaku tertarik.
“Peri hujan itu sangat cantik, mereka memiliki rambut berwarna kuning keemasan, kedua sayap yang mengilat, dan memiliki warna bola mata berwarna kebiruan seperti laut.”
Aku tidak pernah menaruh imaji seorang malaikat pada benakku sebagai gambaran yang menurutku tepat untuk mewakili sosok peri hujan, namun aku menaruh imaji Mama yang menjadi peri hujan. Aku selalu membayangkan mama-lah yang memiliki sayap putih mengilat yang tersemat di punggung indahnya. Terbang bersama diriku yang secantik dirinya. Bersama kami mengulum manisnya sinar pelangi, mencecap sepotong senja yang tampak dari atas, dan bermain bersama gumpalan awan-awan yang beriak tenang.
Namun kini 11 tahun kemudian mimpi-mimpi itu telah hilang menguap dibawa semilir angin. Mama kini terbaring lemah di rumah sakit. Sel-sel kanker payudara telah menghisap habis keelokan yang dulu pernah dimilikinya. Kini ia terlihat begitu lemah. Tua. Ringkih. Kurus. Payah. sudah 6 bulan lamanya aku menemani Mama di rumah sakit, dan kondisinya kian buruk dari bulan ke bulan. Nenek sudah meninggal 5 tahun lalu. Aku sedih melihat bagaimana satu-persatu orang yang kukagumi dan kucintai pergi meninggalkanku begitu saja. Namun dibalik kepedihan ternyata tersisip secuil kebahagiaan bagi tiap-tiap orang yang memiliki mimpi. perkataan Nenek ternyata benar bahwa aku kelak akan tumbuh dewasa secantik Mamaku.
Di usiaku yang kini menginjak 18 tahun aku bisa melihat sosok Mama pada diriku, Mama mewarisi keindahan bola matanya padaku, ia juga mewarisi bibir manisnya untukku, pinggulku tidak lagi kecil tapi kini berubah menjadi begitu ramping seperti mama, kakiku perlahan namun pasti sudah memperlihatkan kejenjangannya seperti mama, dan tentu payudaraku kini sudah mulai tumbuh menjadi padat-berisi.
Pemberian yang mama wariskan kepadaku tidaklah sia-sia, karena dengan kemolekan yang kini kumiliki, aku dapat dengan mudah mendapatkan pekerjaan sebagai Sales Promotion Girl di salah satu perusahaan automotif ternama milik Jepang yang cukup sering melakukan pameran di mall-mall besar di Jakarta. Dengan pekerjaan ini aku dapat menabung untuk biaya kuliah serta membantu biaya chemotheraphy yang sedang mama jalankan.
Namun Tuhan berkehendak lain. Tuhan? Oh please...aku tidak percaya dengan adanya Tuhan, dimanakah Tuhan ketika Papa meninggalkan Mama dalam kondisi mengandung diriku 3 bulan? Dimanakah Tuhan saat aku memohon agar Nenek tidak pergi meninggalkan aku seorang diri, dan kini dimanakah Tuhan saat sel-sel ganas kanker itu berhasil merenggut nyawa mama. Tidakkah Ia melihatku setiap pagi selalu berdoa untuk Mama di rumah sakit ini? Tidakkah ia mengetahui kalau setiap malam aku selalu bersimpuh menangis sendirian di kamar memohon kemurahan hatiNya agar Mama bisa tetap hidup bersama aku?
Sepeninggal Mama, hari-hariku layaknya ditelungkup kegelapan yang amat pekat, sementara aku terlihat kepayahan meraba-raba jalan keluar untuk mencoba lari dari rasa kehilangan ini. Aku kerap menangis sendirian di kamar kosanku, dengan sesegukan biasanya aku membuka buku Negeri pelangi dan mendekapnya erat-erat untuk mengobati rasa rinduku terhadap Mama, tak jarang aku membacanya berulang-ulang sebagai pengantar tidur bila malam menjelang.
Duapuluh dua tahun sudah kini usiaku, dan sudah hampir genap 4 tahun semenjak Mama pergi meninggalkanku. Teman-teman kampusku mengkhawatirkan kondisiku yang semakin tertutup dan tidak pernah mau bersosialisasi. Banyak pula cowok-cowok yang datang menyambangi kosanku guna menghiburku. Walau pada akhirnya nanti mereka pasti akan mengajakku nonton, mengajakku makan di kafe, atau bahkan membelikanku boneka-boneka dan baju-baju dengan alasan agar aku tidak lagi bersedih. Aku tahu kalau sebenarnya mereka tidak peduli secuilpun pada kesedihan yang kualami, yang mereka pedulikan adalah bagaimana memegang tanganku saat kita dinner bareng di kafe, bagaimana mengenggam tanganku saat kita berjalan nonton, atau bagaimana meraih pinggulku saat kita jalan berdua bersama, dan bagaimana cara memagut bibirku merahku dengan birahi di dalam mobil mereka.
Ha..ha..ha..ha..ha.. kadang aku tertawa keras bila mengingat semua perlakukan manis mereka terhadapku.
Ah..betapa jahatnya aku dengan tega membiarkan mereka terus membelikanku boneka, baju, sepatu, pulsa, kalung bahkan mengajakku jalan untuk makan malam setiap hari. Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Nenek dulu, bila aku sudah dewasa nanti aku tidak perlu berusaha mencari laki-laki, karena laki-lakilah yang akan berusaha keras mendapatiku. Aku menggambarkan diriku seperti setangkai bunga cantik yang tinggal di hamparan padang hijau luas dimana banyak kupu-kupu, lebah, dan kepik yang jatuh cinta dengan kelopak indah bungaku, setiap hari satu persatu dari mereka kerap menyambangiku demi merasakan manisnya sariku. namun sayang sesungguhnya aku tidak pernah tertarik dengan lelaki. Tidak, tidak pernah dan tak akan pernah. Karena aku hanya jatuh cinta dengan Negeri pelangi, peri hujan, dan Mama.
**
Aku mendapati diriku sedang berdiri mematung di halaman gereja. Kepalaku menengadah keatas. Aku melihat hujan tumpah ruah dengan derasnya membasahi setiap sudut gereja mungil ini, aku mendengar suara jemaat lamat-lamat semakin keras saat mereka ramai-ramai keluar berhamburan dari gereja. Aku dapat melihat alis mereka yang saling bertaut sebagai pertanda rasa kecewa dan bingung berbaur menjadi satu karena hujan telah datang menyambut mereka pada pagi yang indah ini.
“Hey, anak gadis kecil siapa ini?” kata seorang pria paruh baya yang bertanya kepadaku ditengah kumpulan orang banyak.
“Nila, kamu tidak pulang sayang?” timpal seorang wanita yang tampaknya seperti guru sekolah mingguku
“Aku menunggu mama” ucapku.
“Tapi mamamu belum datang sayang, mari sama tante aja, tante anter kamu ke rumah, ayo.” Tukasnya sembari berusaha memegang tanganku. Namun aku berusaha keras untuk tidak membiarkan tanganku berhasil didapat olehnya.
“Aku mau pulang sama Mama!!!” gerutuku dengan keras.
“Tapi dimana Mamamu?”
“Aku tidak tahu!!, tapi aku hanya mau diantar pulang sama Mama!, nanti pasti dia dateng jemput Nila!” jawabku dengan emosi.
Secara perlahan aku melihat seluruh jemaat gereja sudah berkurang satu demi satu untuk pergi meninggalkan gereja. Sebagian dari mereka ada yang naik mobil, ada yang naik motor, dan ada yang jalan kaki dengan payungnya masing-masing. Tinggal aku sendiri disini, Teronggok dengan rasa sepi dan dingin yang menusuk kulit. Suara gemeretuk hujan di atap gereja seakan sedang berbicara denganku, memberitahu bahwa mama sebentar lagi akan datang menjemputku. Aku hanya diam tercenung di pelataran halaman gereja, membayangkan mama berjalan mendekatiku, mengajakku pulang dan memayungiku.
“Nila, hey Nila mama disini!!”
“mama?”
Aku melihat mama dengan Payung mungilnya sedang berdiri tidak jauh dariku, ia melangkah mendekatiku dengan hati-hati guna menghindari genangan air, setelah sampai di depanku ia dengan cepat memelukku dan mencium kedua pipiku.
“ Lama ya sayang menunggu Mama?”
“Iya, hikss..”ucapku dengan sedikit menangis sesegukan
“Ayo kita pulang,” ajak mama seraya meraih tangan mungilku.
“Ayo” jawabku dengan meraih tangan mama.
Kita berjalan bersama menyusuri sepanjang jalan yang sedikit tergenang dengan air, aku dapat melihat bulir-bulir air hujan jatuh mengelilingi kami membentuk irama-irama yang menghanyutkan, membuatku terbuai kantuk karenanya, aku dapat merasakan mataku yang tiba-tiba menjadi berat, tangan hangat mama meraih badanku dan mulai menggendong di punggungnya. Aku dapat merasakan kalau aku seperti melayang secara perlahan ke atas, pemandangan jalan terlihat semakin kecil dan menjauh aku tingalkan. Aku melihat kalau di belakang punggung mama tersemat sebuah sayap bening mengilat berkilauan. Rupanya sayap itu yang membuat kita berdua melayang terbang ke atas.
“Kita mau kemana ma?” tanyaku
“Kita ke Negeri Pelangi” jawab mama seraya memberikan senyuman manisnya kepadaku. “kamu mau?” tanyanya
“Negeri Pelangi?, tentu saja aku mau ma” jawabku kegirangan.
Dan kita pun terbang menembus semburat cahaya sore yang telah menggantikan rinai hujan. aku dapat melihat lekuk punggung pelangi terbaring di ufuk barat, dibalik punggung pelangi itu terbentang sebuah negeri, Tempat dimana aku akan menghabiskan waktu bersama Mama dan para peri hujan hingga ujung masa—negeri pelangi.
Semburat cahaya mentari sore membangunkanku. Aku bangun dan mendapati diriku berada di kamar kosanku. Pastilah aku telah bermimpi sedari tadi batinku. Aku bangkit bergegas menuju kamar mandi untuk mencuci muka, lalu mengambil segelas air mineral untuk ku reguk demi menghilangkan rasa haus yang kerap menyerang kerongkonganku saat jatuh tidur.
Aku bersijengkat menuju bingkai jendela berwarna cokelat. membukanya secara perlahan, Merasakan tiupan angin hangat memelukku erat. Tanganku menengadah ke atas merasakan sisa air hujan titik demi titik yang sepertinya sudah mulai berhenti. Mataku tertumbuk kepada sosok pelangi yang beringsut keluar dari persembunyiannya. Aku melihat siluet sayap-sayap bening terbang keluar berbarengan membentuk formasi huruf V dari balik bukit pelangi itu. Aku melambaikan tangan kepada sayap-sayap itu. Aku melihat salah satu pemilik sayap itu membalasnya dengan mengerlingkan mata kepadaku. Mata yang cantik. Indah. Hangat. Lembut. Mengingatkanku akan mata Mama.
-----DIKUTIP DARI KOMPAS

Comments

Popular Posts